MENCARI
SOSOK GURU IDEAL
Guru
ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang mampu
untuk menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata
air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir
bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya.
Guru
ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan
baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara
mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami. Ilmunya mengalir deras dan
terus bersemi di hati para anak didiknya. Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti
apakah sosok guru ideal yang diperlukan saat ini?
Guru
ideal yang diperlukan saat ini adalah pertama, guru yang memahami benar akan
profesinya. Profesi guru adala profesi yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu
memberi dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari
Tuhan pemilik bumi. Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia
daripada tangan dibawah. Hanya memberi tak harap kembali. Dia mendidik dengan
hatinya. Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria,
senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Salam, Sapa, Sopan,
Senyum, dan Sabar).
Kedua,
Guru yang ideal adalah guru yang rajin membaca dan menulis. Pengalaman
mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu. Namun, bila
kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. Guru yang rajin membaca
otaknya seperti komputer atau ibarat mesin pencari di internet ysng bernama
Google. Bila ada peserta didiknya yang bertanya, memori otaknya langsung
bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para anak didiknya dengan cepat dan benar.
Akan terlihat wawasan guru yang rajin membaca, dari cara bicara dan
menyampaikan pengajarannya. Guru yang ideal adalah guru yang juga rajin
menulis. Bila guru malas membaca, maka sudah bisa dipastikan dia akan malas
pula untuk menulis. Menulis dan membaca adalah kepingan mata uang logam yang
tidak dapat dipisahkan. Guru yang terbiasa membaca, maka ia akan terbiasa
menulis, mengapa? Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa
yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya
bahasanya sendiri. Menulis itu ibarat pisau yang kalau tidak sering diasah,
maka akan tumpul dan berkarat. Guru yang rajin menulis, akan mempunyai kekuatan
tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau. Tulisannya sangat menyentuh
hati, dan bermakna. Runut serta mudah dicerna bagi siapa saja yang membacanya.
Ketiga,
Guru yang ideal adalah guru yang sensitif terhadap waktu. Orang Barat
mengatakan bahwa waktu adalah uang, time is money. Bagi guru waktu lebih dari
uang dan bahkan bagaikan sebilah pedang tajam yang dapat membunuh siapa saja
termasuk pemiliknya. Pedang yang tajam bisa berguna untuk membantu guru
menghadapi hidup ini, namun bisa juga sebagai pembunuh dirinya sendiri. Bagi
guru yang kurang memanfaatkan waktunya dengan baik, maka tidak akan banyak
prestasi yang ia raih dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang ia
sia-siakan. Karena itu guru harus sensitif terhadap waktu. Detik demi detik
waktunya teratur dan terjaga dari sesuatu yang kurang baik serta sangat
berharga. Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan
kita manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita memuliakan waktu, maka
waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seseorang terlihat
dari cara ia memperlakukan waktu dengan baik.
Keempat,
Guru yang ideal adalah guru yang tidak terjebak dengan rutinitas kerjanya.
Kesibukan kerja setiap hari menjadi rutinitas yang tiada henti. Guru harus
pandai mengatur rutinitas kerjanya. Jangan sampai guru terjebak sendiri dengan
rutinitasnya yang justru tidak menghantarkan dia menjadi guru yang baik dan
menjadi tauladan anak didiknya. Guru harus pandai mensiasati pembagian waktu
kerjanya. Buatlah jadwal yang terencana. Buang kebiasan-kebiasaan yang membawa
guru untuk tidak terjebak di dalam rutinitas kerja, misalnya : pandai mengatur
waktu dengan baik, membuat diari atau catatan harian yang ditulis dalam agenda
guru, dan lain-lain. Rutinitas kerja tanpa sadar membuat guru terpola menjadi
guru pasif bukan aktif. Hari-harinya diisi hanya untuk mengajar saja. Dia tidak
mendidik dengan hati. Waktunya di sekolah hanya sebatas sebagai tugas rutin
mengajar yang tidak punya nilai apa-apa. Guru hanya melakukan transfer of
knowledge. Tidak mau tahu dengan lingkungan dan kondisi sekolah apalagi kondisi
siswa. Dia mengganggap pekerjaan dia adalah karirnya, karena itu dia berusaha
keras agar yang dilakukannya bagus di mata pimpinannya atau kepala sekolah. Tak
ada upaya untuk keluar dari rutinitas kerjanya yang sudah membosankan. Bahkan
sampai saatnya memasuki pensiun. Apakah ini yang disebut guru profesional?
Kelima,
Guru yang ideal adalah guru yang kreatif dan inovatif. Merasa sudah
berpengalaman membuat guru menjadi kurang kreatif. Guru malas mencoba sesuatu
yang baru dalam pembelajarannya. Dia merasa sudah cukup. Tidak ada upaya untuk
menciptakan sesuatu yang baru dari pembelajarannya. Dari tahun ke tahun gaya
mengajarnya itu-itu saja. Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang dibuatpun
dari tahun ke tahun sama, hanya sekedar copy and paste tanggal dan tahun saja.
Rencana Program pembelajaran tinggal menyalin dari kurikulum yang dibuat oleh
pemerintah atau menyontek dari guru lainnya. Guru menjadi tidak kreatif. Proses
kreatif menjadi tidak jalan. Untuk melakukan suatu proses kreatif dibutuhkan
kemauan untuk melakukan inovasi yang terus menerus, tiada henti.Guru yang
kreatif adalah guru yang selalu bertanya pada dirnya sendiri. Apakah dia sudah
menjadi guru yang baik? Apakah dia sudah mendidik dengan benar? Apakah anak
didiknya mengerti tentang apa yang dia sampaikan? Dia selalu memperbaiki diri.
Dia selalu merasa kurang dalam proses pembelajarannya. Dia tidak pernah puas
dengan apa yang dia lakukan. Selalu ada inovasi baru yang dia ciptakan dalam
proses pembelajarannya. Dia selalu memperbaiki proses pembelajarannya melalui
penelitian tindakan kelas. Dia selalu belajar sesuatu yang baru, dan merasa
tertarik untuk membenahi cara mengajarnya. Dia belajar sepanjang hayat
hidupnya.
Terakhir,
Guru yang ideal adalah guru yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang
dimiliki terpancar jelas dari karakter dan prilakunya sehari-hari. Baik ketika
mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat. Kelima kecerdasan itu
adalah: kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, kecerdasan sosial, kecerdasan
emosional, kecerdasan motorik. Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan
kecerdasan moral, Mengapa? Bila kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan
kecerdasan moral akan menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan
keberhasilan ketimbang proses, segala cara dianggap halal, yang penting target
tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita sehingga
kasus korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan
moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur
dalam situasi apapun. Jujur bukanlah kebijakan yang terbaik, tapi jujur adalah
satu-satunya kebijakan. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan.
Selain itu kecerdasan sosial juga harus dimilikin oleh guru ideal agar tidak
egois, dan tidak memperdulikan orang lain. Dia harus mampu bekerjasama dengan
karakter orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar
guru tidak gampang marah, tersinggung, dan mudah melecehkan orang lain.
Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar guru mampu melakukan mobilitas
tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar